Sulawesi Utara info86news.com hari ini berada dalam persimpangan sejarah yang menentukan. Di satu sisi, kita melihat geliat pembangunan dan modernisasi yang terus digerakkan oleh semangat reformasi. Namun di sisi lain, kita juga menyaksikan bagaimana korupsi dana hibah, mafia tanah, dan penyalahgunaan anggaran negara menorehkan luka serius dalam tubuh pemerintahan daerah. Luka ini bukan hanya administratif, tetapi menyentuh akar moralitas dan kepercayaan rakyat terhadap institusi negara.
Dalam politik, krisis integritas bukan sekadar skandal—ia adalah ancaman eksistensial bagi legitimasi kekuasaan. Ketika pejabat publik mulai bermain-main dengan mandat rakyat, yang hancur bukan hanya anggaran, tetapi ruh dari demokrasi itu sendiri. Politik kehilangan maknanya ketika kekuasaan digunakan untuk memperkaya segelintir, bukan melayani yang banyak.
Namun di tengah tantangan itu, Sulawesi Utara masih memiliki pondasi kokoh: kepemimpinan yang lahir dari dedikasi dan pengalaman panjang dalam pengabdian. Gubernur Sulawesi Utara, Mayjen TNI (Purn.) Yulius Selvanus, S.E, membawa karakter kepemimpinan yang tegas, berwibawa, dan berorientasi pada stabilitas serta pembangunan berkelanjutan. Dalam dirinya, terdapat harapan akan hadirnya tata kelola yang bersih, tegas, dan bebas dari kompromi dengan praktik kotor kekuasaan.
Di sisi keamanan dan penegakan hukum, peran Kapolda Sulut, Irjen. Pol. Dr. Roycke Harry Langie, S.I.K., M.H., menjadi elemen penting dalam menjaga ketertiban sosial dan supremasi hukum. Di tengah gejolak sosial dan tekanan politik, Kapolda tampil sebagai figur profesional yang tak hanya menjaga keamanan, tetapi juga menjadi garda terdepan dalam melawan praktik-praktik kriminal terstruktur seperti mafia tanah dan korupsi. Ini bukan sekadar kerja polisi, tapi bagian dari perjuangan menjaga etika dalam kehidupan berbangsa.
Filsuf Max Weber pernah menyatakan bahwa politik adalah panggilan jiwa bagi mereka yang bersedia menanggung beban dunia. Gubernur Yulius Selvanus dan Kapolda Roycke Langie, dalam tugas dan tanggung jawabnya masing-masing, telah menegaskan bahwa jabatan publik bukan tempat untuk bermain-main, melainkan medan perjuangan demi stabilitas, keadilan, dan keberlangsungan nilai-nilai konstitusi.
Saya, David Rumangkang, menaruh harapan penuh pada duet strategis ini—pemerintah dan penegak hukum—untuk membersihkan sistem dari para oportunis, mengembalikan marwah pemerintahan, dan memastikan bahwa Sulawesi Utara tidak akan dikuasai oleh segelintir elit yang memperdagangkan masa depan daerah demi kepentingan pribadi.
Sejarah sedang menulis babak baru. Dan di tengah tantangan ini, kita perlu pemimpin yang tidak hanya berpikir taktis, tetapi juga bertindak etis. Sulawesi Utara membutuhkan bukan hanya perubahan kebijakan, tetapi transformasi kesadaran. Jalan itu terbuka—dan harapan itu kini ada di tangan mereka yang diberi amanat oleh rakyat.
( Maxi erkles.Info 86 New Pers )