Pasaman Barat,info8news.com Dugaan kasus persetubuhan terhadap anak di bawah umur kembali mencoreng wajah perlindungan anak di Kabupaten Pasaman Barat. Peristiwa yang disebut terjadi pada 6 Juli 2025 di Jorong Pigogah Pati Bubur, Nagari Air Bangis ini, baru dilaporkan ke pihak berwenang pada 6 Agustus 2025. Publik kini mempertanyakan keseriusan pemerintah daerah, khususnya Dinas Perlindungan Anak, dalam merespons tragedi yang menyentuh nurani ini.
LSM dan media lokal menilai, lambannya penanganan dan minimnya keterbukaan informasi membuat posisi korban semakin rentan. Padahal, dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak, waktu dan perlindungan awal adalah kunci keselamatan fisik maupun mental korban.
Awak media mencoba mengkonfirmasi langsung kepada pihak Dinas Perlindungan Anak Pasaman Barat, dengan sejumlah pertanyaan yang menuntut jawaban jelas:
1. Tanggapan Resmi – Bagaimana respon Dinas terhadap laporan dugaan persetubuhan terhadap anak yang mencuat di publik ini? Apakah pemerintah daerah memandang kasus ini sebagai darurat perlindungan anak?
2. Langkah Penanganan – Sejak laporan diterima pada 6 Agustus 2025, apa saja langkah konkret yang telah dilakukan untuk memberikan perlindungan, pendampingan hukum, dan dukungan psikologis kepada korban?
3. Koordinasi Antar-Instansi – Apakah Dinas sudah berkoordinasi dengan pihak kepolisian, unit PPA, dan lembaga pendamping anak? Jika iya, seperti apa bentuk koordinasi itu, dan apakah sudah menghasilkan langkah nyata?
4. Jaminan Keamanan Korban – Bagaimana mekanisme Dinas untuk memastikan korban terhindar dari intimidasi, tekanan, atau upaya penyelesaian damai di luar proses hukum, yang kerap menjadi momok dalam kasus serupa?
5. Sikap terhadap Penyelesaian Adat – Apakah Dinas tegas menolak penyelesaian kekerasan seksual anak secara adat atau kekeluargaan, dan mendorong proses hukum penuh tanpa kompromi?
6. Pencegahan – Apa strategi Dinas untuk mencegah terulangnya kasus kekerasan seksual terhadap anak di Pasaman Barat, khususnya di daerah perkebunan dan kawasan terpencil yang rawan minim pengawasan?
7. Evaluasi Sistem – Apakah peristiwa ini membuktikan adanya kelemahan sistem perlindungan anak di Pasaman Barat? Jika iya, apa evaluasi dan perbaikan yang akan dilakukan?
8. Transparansi Informasi – Bagaimana Dinas memastikan publik memperoleh informasi perkembangan kasus secara transparan, tanpa mengorbankan kerahasiaan dan kenyamanan korban?
Hingga berita ini disusun, pihak Dinas Perlindungan Anak Pasaman Barat belum memberikan jawaban resmi atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sementara itu, aktivis perlindungan anak mengingatkan bahwa setiap hari keterlambatan penanganan berarti memperbesar luka psikologis korban dan membuka celah bagi pelaku untuk menghindar dari jerat hukum.
Kasus ini menjadi ujian serius bagi pemerintah daerah: Apakah perlindungan anak hanya sebatas slogan di baliho, atau benar-benar menjadi prioritas kebijakan di lapangan?
Jurnalis, Abdi Novirta