Gaya Pejabat, Uang Rakyat”: DPRD Kota Padang Main Cantik di Atas Aturan

banner 468x60

Padang, info86news.com Sementara masyarakat diseru untuk hidup hemat, DPRD Kota Padang justru tampil fashionable dengan pakaian dinas layaknya catwalk pejabat elite. Namun alih-alih mencerminkan kehormatan publik, gaya ini justru membakar etika, mencederai aturan, dan lebih buruk lagi: menggerus uang rakyat.

Fakta mengejutkan datang dari audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dana Rp624 juta digelontorkan untuk pengadaan pakaian dinas DPRD tahun 2024. Namun yang lebih mencengangkan, Rp193,97 juta di antaranya terindikasi sebagai kelebihan bayar dan pengeluaran tak sesuai spesifikasi. Ini bukan salah hitung. Bukan sekadar kelalaian. Ini adalah skenario sistematis yang terlalu terang untuk dibantah, terlalu rapi untuk disebut kebetulan.

Harga Sultan, Melewati Aturan Wali Kota

Ketua Umum LSM P2NAPAS, Ahmad Husein, menyebut pengadaan Pakaian Sipil Resmi (PSR) dan Pakaian Sipil Lapangan (PSL) dilakukan di atas batas harga yang ditetapkan Peraturan Wali Kota Padang No. 45 Tahun 2017.

PSR dibayar Rp2,75 juta per stel, melebihi batas maksimal Rp2,5 juta.

PSL mencapai Rp4,2 juta, padahal pagunya hanya Rp4 juta.

“Kelebihan harga dua jenis pakaian saja menghasilkan selisih Rp20,75 juta. Ini bukan mark-up biasa. Ini pembiaran yang terlalu nyaman untuk tidak disengaja,” tegas Husein.

Voucher Negara, Blazer Istri, dan Jeans Pejabat

Yang lebih tak masuk akal: sistem pengadaan tidak lagi menggunakan surat pesanan, melainkan voucher. Dengan kupon di tangan, anggota dewan bebas menjahit blazer untuk istri, kemeja batik pribadi, bahkan celana jeans. Negara membayar, tanpa tahu apa yang dijahit.

“Ada 112 stel pakaian senilai Rp175 juta yang tidak sesuai spesifikasi. Tidak diverifikasi, tak dicek kualitasnya. Sekadar tanda tangan serah terima, langsung cair. Ini bukan prosedur birokrasi, ini karikatur tata kelola,” ujar Husein.

Retorika Usang, Realita Busuk

Saat dikonfirmasi, Sekretariat DPRD berdalih bahwa harga “mengikuti pasar”. Tapi sejak kapan regulasi bisa ditawar?

Jika aturan Perwako bisa dilangkahi dengan dalih pasar, untuk apa aturan dibuat? Ini pertanyaan penting yang hingga kini belum dijawab.

BPK sudah menyatakan: kelebihan bayar adalah pelanggaran. Uangnya harus dikembalikan. Tapi hingga hari ini, baru Rp56,15 juta yang dikembalikan ke kas daerah. Lebih dari Rp137 juta masih mengambang—tanpa kejelasan, tanpa tanggung jawab, dan lebih menyakitkan: tanpa rasa malu.

Mewah di Atas Penderitaan

Fenomena ini adalah cerminan brutal dari legislatif yang kehilangan arah dan etika. Di saat rakyat menjerit karena harga sembako dan listrik naik, DPRD Kota Padang justru sibuk mengukur lengan dan memilih bahan blazer. Ini bukan hanya pemborosan. Ini pengkhianatan terhadap amanat konstituen.

Wakil rakyat bukan peraga busana. Mereka seharusnya memperjuangkan anggaran untuk kesehatan, pendidikan, dan layanan dasar, bukan untuk lemari pakaian pribadi.

Tanya Publik yang Tak Bisa Dijawab dengan Blazer

Jika kelebihan bayar ini tidak ditindak serius, jika sistem voucher dibiarkan tanpa koreksi, dan jika pengawasan hanyalah formalitas, publik berhak bertanya:

Masihkah kita punya wakil rakyat? Ataukah hanya penikmat anggaran yang berseragam mewah dan berdalih prosedur?

Respons yang Terlalu Singkat untuk Masalah yang Terlalu Serius

Ketua DPRD Kota Padang, H. Muharlion, S.Pd., saat dikonfirmasi, memilih menjawab singkat: “Itu ranahnya Sekwan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran.” Sementara Sekretaris DPRD Hendrizal Azhar, SH, MM., tidak membantah namun hingga kini belum memberikan klarifikasi resmi.

Pemisahan tanggung jawab adalah hal yang lazim dalam birokrasi, tetapi dalam isu yang menyangkut kepercayaan publik, diam bukanlah pilihan. Sikap defensif atau menunda klarifikasi hanya memperdalam kecurigaan.

( Tim Red )

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *