Padang, info86news.com Di tengah gembar-gembor optimalisasi aset daerah, praktik di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Perjanjian kerja sama pemanfaatan Stadion GOR Haji Agus Salim antara Dinas Pemuda dan Olahraga Sumatera Barat dan PT KSSP kini menjadi simbol kegagalan tata kelola aset publik. Laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terbaru bahkan menyebutkan secara terang bahwa kontribusi finansial dari pemanfaatan aset tersebut tidak jelas dan tidak tercatat secara layak.
Nilai manfaat yang digunakan PT KSSP mencapai Rp1,93 miliar, namun perjanjian yang seharusnya menjadi dasar hukum dan jaminan pendapatan bagi daerah tak memuat satu angka pun mengenai kontribusi nyata. Lebih parah lagi, hibah sebesar Rp,500 juta untuk pembinaan usia muda yang dijanjikan dalam kerja sama tersebut belum memiliki dasar hukum yang sah, dan tidak kunjung direalisasikan.
Ahmad Husein Batu, Bara, Ketua Umum LSM P2NAPAS, menyebut perjanjian tersebut sebagai bentuk pembiaran sistemik terhadap aset daerah.
“Ini bukan sekadar kelalaian administratif, ini potret betapa lemahnya kontrol pemerintah terhadap aset strategis daerah. Kita bicara soal miliaran rupiah potensi yang menguap tanpa jejak jelas,” ujar Husein,
Ia juga menyoroti lemahnya penegakan regulasi, terutama Permendagri No. 19 Tahun 2016 yang telah diperbarui melalui Permendagri No. 7 Tahun 2024. Menurutnya, jika pemerintah serius ingin memperbaiki kinerja fiskal daerah, pembenahan kontrak seperti ini bukan opsi – tapi kewajiban.
“Jika perjanjiannya sumir, kontribusinya kosong, dan tidak ada pengawasan, lalu untuk siapa sebenarnya aset publik ini dikelola? Jangan sampai pemerintah hanya jadi penonton saat fasilitas milik rakyat digunakan tanpa tanggung jawab yang memadai,” tambahnya tajam.
Di sisi lain, Dinas Pemuda dan Olahraga justru memilih bungkam saat dimintai tanggapan atas temuan tersebut. Sikap diam yang tidak hanya mengecewakan publik, tetapi juga mengesankan ketidaksiapan institusi dalam menghadapi persoalan serius ini.
Fenomena ini memperlihatkan kegagalan serius dalam memastikan bahwa aset daerah bekerja untuk rakyat, bukan untuk kepentingan sempit segelintir pihak. Saat tata kelola melemah dan kontrak kehilangan integritas, maka yang rugi bukan hanya keuangan daerah — tapi kepercayaan publik.
Kini bola ada di tangan Gubernur dan jajaran pimpinan daerah. Apakah akan tetap membiarkan praktik ini berjalan tanpa koreksi? Atau bersikap tegas membenahi kesalahan agar aset publik kembali memberikan manfaat nyata bagi Sumatera Barat?
Jurnalis, ( Abdi Novirta )










